HIKAYAT TAN MALAKA

 Bapak Republik yang Dilupakan

Tan Malaka adalah sosok monumental dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namanya sering diasosiasikan dengan pemikiran radikal, buku-buku pergerakan yang membakar semangat, dan julukan sebagai "Bapak Republik Indonesia". Namun, di balik citra revolusioner tersebut, tersembunyi sebuah riwayat hidup yang penuh dengan ironi mendalam, aliansi yang mengejutkan, dan tragedi personal yang jarang dibicarakan.

Jauh dari sekadar seorang ideolog, kisahnya adalah potret kompleks tentang pengorbanan, kekecewaan, dan kesalahan fatal. Kita akan menyusup ke balik puluhan nama samarannya, merasakan pedihnya cinta yang ia kubur demi revolusi, dan berdiri di sisinya di jalanan Jakarta saat ia menyadari negara yang ia impikan telah lahir tanpanya. Berikut adalah lima kisah paling mengejutkan dari perjalanan hidup Tan Malaka yang akan mengubah cara Anda memandangnya.

1. Bapak Republik yang Justru Absen di Hari Kelahirannya

Sebuah ironi yang paling pedih dalam sejarah Indonesia adalah absennya Tan Malaka pada hari Proklamasi Kemerdekaan. Padahal, dialah orang pertama yang secara gamblang mengonseptualisasikan bentuk negara "Republik Indonesia" melalui bukunya yang legendaris, Naar de Republiek Indonesia, yang ditulis pada tahun 1925—jauh sebelum Soekarno dan Hatta merumuskan gagasan serupa.

Menjelang proklamasi, pada awal Juni dan Agustus 1945, Tan Malaka sudah berada di Jakarta. Dengan menggunakan nama samaran Ilias Husein, ia secara aktif bertemu dan mempengaruhi para pemuda radikal seperti Soekarni. Namun, tragedi ini lahir dari saling curiga. Soekarni, meski terpukau, juga menaruh curiga pada sosok "Ilias Husein" yang misterius, takut jangan-jangan ia adalah mata-mata Jepang. Di sisi lain, Tan Malaka sendiri terlalu berlebihan dalam kehati-hatiannya. Sebagai buronan puluhan tahun, ia masih menunggu "kesempatan yang lebih tepat" untuk membuka jati dirinya.

Akibatnya, meski menjadi inspirator utama para pemuda, Tan Malaka sama sekali tidak dilibatkan dalam peristiwa Rengasdengklok. Ia tidak tahu-menahu tentang upacara proklamasi yang akan digelar dan baru menyadari Indonesia telah merdeka setelah mendengar orang-orang ramai membicarakannya di jalanan. Kekecewaannya teramat dalam, seperti yang ia tulis sendiri:

...sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan dirinya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan...

Adam Malik, salah satu pengikut setianya, melukiskan momen tragis yang lahir dari keraguan ini.

...kepedihan riwayat. Soekarni bertahun-tahun membaca buku politik Tan Malaka, tapi pada saat ia membutuhkan pikiran dari orang sekaliber Tan, malah melewatkannya begitu saja.

2. Ditunjuk Diam-diam Sebagai Penerus Soekarno

Salah satu rahasia terbesar pada masa awal revolusi adalah wasiat politik Soekarno yang menunjuk Tan Malaka sebagai penerusnya. Pada 9 September 1945, sebuah pertemuan rahasia digelar antara Soekarno dan Tan Malaka. Dalam pertemuan itu, Soekarno mengungkapkan kekhawatirannya bahwa Belanda akan kembali dengan membonceng Sekutu, dan jika ia beserta Hatta ditangkap, revolusi akan kehilangan pemimpin.

Soekarno melihat Tan Malaka sebagai satu-satunya orang yang paling "mahir dalam revolusi" untuk melanjutkan perjuangan. Ia pun secara langsung memberikan mandat kepada Tan Malaka.

"Jika nanti terjadi sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi, saya harap saudara yang melanjutkan."

Namun, rencana ini ditentang keras oleh Mohammad Hatta. Begitu mendengar usulan Soekarno, Hatta menolaknya dan mengusulkan pembentukan dewan pimpinan yang terdiri dari empat orang: Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri, dan Wongsonegoro, selain dirinya. Sumber ketidakpercayaan Hatta cukup personal; ia merasa bahwa Tan Malaka selalu menganggap dirinya dan Soekarno sebagai "anak ingusan" dalam dunia pergerakan.

3. Ahli Penyamaran yang Sukses Mengelabui Soekarno & Hatta

Kemampuan Tan Malaka dalam menyamar sudah melegenda, tetapi salah satu aksinya yang paling luar biasa adalah ketika ia berhasil mendebat Soekarno tanpa dikenali sama sekali. Peristiwa ini terjadi di tambang batu bara Bayah pada September 1944, saat Soekarno dan Hatta berkunjung untuk menemui para romusa (pekerja paksa). Tan Malaka, yang saat itu bekerja di sana sebagai seorang kerani sederhana, menggunakan nama samaran Ilias Husein.

Awalnya, Tan (sebagai Husein) hanya sibuk memilih kue dan minuman untuk para tamu. Namun, ia gerah mendengar jawaban Soekarno yang terkesan meremehkan pertanyaan dari para pekerja lain. Ia pun meletakkan nampan kuenya dan maju ke depan. Ketika Soekarno berpidato bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan, "Ilias Husein" dengan berani menantang argumen tersebut, menyatakan bahwa kemerdekaan harus direbut oleh rakyat, bukan diterima sebagai hadiah. Soekarno tampak jengkel dengan sanggahan dari seorang kerani rendahan itu.

Ironisnya, Soekarno sama sekali tidak sadar bahwa orang yang sedang mendebatnya adalah Tan Malaka, penulis buku Massa Actie yang sangat ia kagumi dan bahkan selalu ia bawa saat diadili di Bandung. Lebih mencengangkan lagi, Mohammad Hatta yang pernah beberapa kali bertemu Tan Malaka di Belanda pun gagal mengenalinya.

4. Aliansi Ganjil dengan Mayor 'Psikopat' yang Berakhir Fatal

Perjalanan hidup Tan Malaka dipenuhi aliansi politik, tetapi yang paling aneh dan akhirnya berakibat fatal adalah persekutuannya dengan Mayor Sabaruddin. Sabaruddin bukanlah perwira biasa; ia dikenal sebagai "mayor gila" dan "psikopat". Julukannya, "Macan Sidoarjo," lahir dari reputasinya yang bengis, mudah menembak orang tanpa bukti, dikabarkan hobi meminum darah musuhnya, dan pernah ditangkap karena ketahuan menyimpan harem berisi wanita-wanita Eropa.

Anehnya, setelah bertemu Tan Malaka di penjara, Sabaruddin yang brutal ini menjadi pengagum fanatik sang pemikir revolusioner. Kemitraan ganjil ini membawa Tan Malaka membuat keputusan fatal: ia setuju untuk memindahkan basis perjuangannya ke Kediri di bawah perlindungan Sabaruddin dan 50 tentaranya. Keputusan ini justru membuatnya terisolasi dari kekuatan politik lainnya. Sejarawan Harry Poeze, yang meneliti hidup Tan Malaka selama 40 tahun, menganggap aliansi ini sebagai sebuah kesalahan besar yang sulit dipahami.

"ikatannya dengan Sabaruddin mustahil dan tidak bisa dipercaya, tapi dalam revolusi berlaku kaidah-kaidah lain... Kesalahan besar Tan Malaka."

5. Di Balik Sosok Radikal, Ada Cinta yang Tak Terbalas

Di balik sosoknya yang keras dan radikal, Tan Malaka menyimpan sebuah kisah cinta personal yang tragis. Cinta pertamanya adalah Syarifah Nawawi, teman sekelasnya di Kweekschool (sekolah guru) di Bukittinggi. Perasaannya begitu dalam hingga ia sering mengirim surat kepada Syarifah dari Belanda, meskipun tak satu pun suratnya pernah dibalas. Bahkan, keputusannya menerima gelar adat Datuk yang awalnya ia tolak, adalah cara untuk menghindari perjodohan, dengan harapan suatu saat nanti ia bisa mempersunting Syarifah.

Namun, cintanya bertepuk sebelah tangan. Syarifah menikah dengan seorang bupati. Bertahun-tahun kemudian, setelah Syarifah menjanda, Tan Malaka kembali menemuinya untuk melamarnya, tetapi lamaran itu ditolak. Puluhan tahun setelahnya, ketika ditanya tentang Tan Malaka, Syarifah yang sudah sepuh hanya menggambarkannya sebagai "seorang pemuda yang aneh". Ketika Adam Malik bertanya apakah ia pernah jatuh cinta, Tan Malaka memberikan jawaban yang merangkum seluruh hidupnya.

"Pernah, tiga kali malahan... tapi semuanya itu katakanlah hanya cinta yang tak sampai. Perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan."

Lima kisah di atas melukiskan potret Tan Malaka yang jauh lebih kompleks dari yang tercatat di buku-buku sejarah umum. Ia adalah seorang bapak bangsa yang terlupakan di hari kelahirannya, seorang penerus presiden yang tak pernah menjabat, seorang politisi brilian yang membuat kesalahan fatal, dan seorang manusia dengan hati yang pernah patah. Keahliannya menyamar yang membuatnya bertahan hidup selama puluhan tahun dalam pelarian, ironisnya, turut berkontribusi pada keterasingannya di momen paling krusial.

Kisah hidupnya adalah cerminan dari gejolak revolusi itu sendiri—penuh idealisme, pengkhianatan, ironi, dan pengorbanan. Dengan segala ironi dan kontradiksi dalam hidupnya, bagaimana seharusnya kita menempatkan kembali warisan Tan Malaka dalam narasi besar bangsa Indonesia?


Posting Komentar

0 Komentar