Dari 'Lebaran Demokrasi' ke Presidential Threshold: 5 Pelajaran Tersembunyi dari Sejarah Pemilu Indonesia
Panggung politik 2024 penuh drama, tapi jangan salah, pertunjukan serupa dengan alur yang lebih mengejutkan sudah dipentaskan berkali-kali dalam sejarah republik ini. Hiruk pikuk perebutan kuasa yang kita saksikan hari ini bukanlah anomali, melainkan babak terbaru dari sebuah kisah panjang tentang pertarungan abadi antara idealisme demokrasi dan pragmatisme kekuasaan. Mari kita selami lima pelajaran tersembunyi dari perjalanan pemilu Indonesia yang akan mengubah cara Anda memandang politik hari ini.
1. Puncak Idealisme: Pemilu 1955 Adalah Pesta Demokrasi Paling Meriah yang Pernah Ada
Setelah satu dekade merdeka dan melewati berbagai kegentingan, Indonesia akhirnya menggelar pemilu pertamanya pada 1955. Ini bukanlah sekadar pemilu; ini adalah sebuah ledakan keragaman ideologis. Bayangkan, ada sekitar 172 peserta—mulai dari partai besar, perkumpulan kecil, hingga calon perorangan—yang mewakili seluruh spektrum pemikiran: nasionalisme, agama, sosialisme, bahkan Marxisme.
Antusiasme publik begitu meluap bukan hanya karena ragam pilihan, tapi karena sebuah sentimen yang lebih dalam: orang merasa ada dirinya di kotak pemilu itu. Mereka melihat cerminan identitas dan aspirasi mereka dalam pemilu tersebut, sebuah perayaan keindonesiaan yang sesungguhnya.
"...orang itu tergerak seperti lebaran begitu ya untuk datang ke tempat ee pemilihan umum karena pemilihan itu membawa unsur keindonesiaan yang beragam yang bineka..."
Inilah puncak idealisme demokrasi kita, sebuah momen di mana panggung politik begitu terbuka dan partisipasi begitu tulus. Sebuah kontras tajam dengan lanskap politik yang kita kenal sekarang.
Namun, semangat keberagaman yang meledak di tahun 1955 justru melahirkan kekhawatiran baru bagi sebagian elite politik, termasuk Soekarno sendiri. Kekhawatiran inilah yang secara ironis membuka jalan bagi lahirnya mesin politik paling dominan dalam sejarah Indonesia.
2. Ironi Terbesar: Golkar Lahir dari Gagasan Soekarno, Menjadi Mesin Politik Soeharto
Bayangkan ini: sebuah gagasan dari Bapak Proklamator untuk menyatukan bangsa, justru menjadi cetak biru bagi sebuah rezim yang akan membungkam gagasan-gagasan politik rivalnya selama 32 tahun. Inilah ironi terbesar dalam sejarah kepartaian Indonesia.
Soekarno, yang prihatin dengan fragmentasi politik, menggagas sebuah partai tunggal atau partai negara. Konsep ini kemudian mewujud dalam Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya), sebuah wadah yang dirancang untuk menyatukan berbagai kelompok fungsional. Namun, sejarah berbelok tajam. Di tengah gejolak politik 1960-an, militer masuk dan mengambil alih kendali Sekber Golkar. Setelah transisi kekuasaan ke Orde Baru, wadah gagasan Soekarno ini bertransformasi menjadi Golkar—kendaraan politik utama Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya.
3. Pergeseran Strategi: Kemenangan Telak Orde Baru Tidak Butuh "Serangan Fajar"
Pemilu 1971, yang pertama di era Orde Baru, menandai pergeseran fundamental dalam strategi politik. Golkar menang telak dengan perolehan suara lebih dari 62%. Yang mengejutkan, kemenangan masif ini dicapai tanpa praktik politik uang yang kita kenal sekarang.
"...Golkar menang 62% di tahun '71 tanpa serangan fajar tanpa ngirim martabak dan pisang goreng di dalam kantong kresek dengan beras 3 liter gitu..."
Lalu, bagaimana caranya? Jawabannya terletak pada sebuah cetak biru kontrol otoritarian: mobilisasi aparatur negara. Ini bukan lagi soal memenangkan hati dan pikiran rakyat seperti di tahun 1955, melainkan soal memerintahkan loyalitas melalui struktur kekuasaan. Pegawai negeri hingga para menteri secara sistematis diarahkan untuk memilih Golkar, mengubah birokrasi menjadi alat pemenangan yang tak terkalahkan.
Tumbangnya rezim otoriter ini melahirkan era Reformasi, yang menjanjikan demokrasi yang lebih terbuka. Namun, seiring dengan diperkenalkannya pemilihan presiden secara langsung, muncul pula sebuah aturan main baru yang hingga kini terus menjadi perdebatan sengit.
4. Aturan Main Modern: Kontroversi Ambang Batas Presiden (Presidential Threshold)
Sejak rakyat bisa memilih presiden secara langsung pada 2004, sebuah aturan bernama Presidential Threshold diperkenalkan. Aturan ini mensyaratkan partai politik harus mencapai ambang batas suara atau kursi tertentu untuk bisa mengusung calon presiden. Aturan yang awalnya hanya ada di Indonesia (sebelum diikuti Turki) ini menjadi sumber kontroversi.
Para pengkritik berpendapat bahwa aturan ini secara fundamental bertentangan dengan semangat amandemen UUD 1945, yang justru ingin membuka kesempatan seluas-luasnya bagi putra-putri terbaik bangsa untuk memimpin. Menurut mereka, aturan ini—dalam bahasa narasumber—"bertolak belakang sama risalah amandemen". Konsekuensi nyatanya sangat terasa: pilihan rakyat terbatas, dan kader-kader terbaik dari partai minoritas terpaksa "minggir dulu".
"...apakah tidak dibalik logikanya dengan banyaknya calon kita akan mulai berbicara selangkah lebih maju lagi bukan hanya berbicara soal koalisi politik praktis tapi bicara soal siapa yang mempunyai gagasan yang lebih berpihak pada warga dan masyarakat sipil..."
Perdebatan tentang aturan yang membatasi calon ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih esensial: apa sebenarnya kualitas terpenting yang harus dimiliki seorang pemimpin?
5. Gagasan Kunci: Saat "Kebangsawanan Pikiran" Melampaui "Kebangsawanan Keturunan"
Di tengah diskursus modern tentang politik dinasti, sejarah menawarkan sebuah pelajaran fundamental. Para pendiri bangsa kita, seperti Hatta dan Tan Malaka, banyak yang berasal dari kalangan priyayi atau bangsawan. Namun, mereka justru melakukan "bunuh diri kelas"—secara sadar melepaskan privilese dan warisan feodal mereka untuk memperjuangkan gagasan republik yang setara untuk semua.
Mereka membuktikan bahwa yang terpenting bukanlah "kebangsawanan asal darah genetik," melainkan "kebangsawanan pikiran."
"...buat saya tidak problem dia keturunan siapa ya tapi sejauh apa dia menghayati bukan kebangsawanan asal kebangsawan turunan tapi kebangsawanan pikiran ya kalau dia tidak menunjukkan pemikiran republikan ya enggak bisa dia itu kita anggap sebagai orang Indonesia apalagi pemimpin Indonesia..."
Pesan ini begitu kuat dan relevan: integritas, gagasan, dan komitmen pada cita-cita republik harus selalu berada di atas garis keturunan. Inilah standar tertinggi yang diteladankan oleh para pendiri bangsa.
Dari ledakan keragaman ideologis pada 1955, yang kemudian dibungkam oleh mesin politik terpusat, hingga kini dibatasi oleh aturan main yang diperdebatkan—sejarah pemilu kita adalah pelajaran tentang bagaimana cita-cita demokrasi terus bernegosiasi dengan realitas kekuasaan. Perjalanan ini membuktikan bahwa demokrasi bukanlah jalan lurus yang mulus, melainkan sebuah arena pertarungan gagasan yang tak pernah usai.
Melihat kembali jejak-jejak ini, demokrasi seperti apa yang sesungguhnya kita inginkan untuk masa depan Indonesia?
0 Komentar